Tunggu disana, sebentar

Ayah tidak pernah mengajariku bahwa kepergiannya yang sebentar membuatku menjadi sesosok gadis yang tumbuh dengan rasa petualang.

Vira Adriani
3 min readNov 17, 2022
Photo by Daiga Ellaby on Unsplash

Malam itu, seperti biasanya, lampu sudah mati setelah Ibu selesai membacakan dongeng tentang kura-kura yang menang melawan kelinci yang tertidur ditengah-tengah pertandingan. Ayah memijat dahiku sembari Ibu bersenandung kecil membantuku untuk menjumpai alam mimpi. Dinginnya malam, senandung Ibu, dan pijatan Ayah berhasil membuatku tertidur lelap.

Kala itu sangat gelap, aku hanya bisa melihat Ayah mengatakan hal yang tak pernah kudengar sebelumnya. “Ayah pergi sebentar, kamu tunggu disana ya.” Ternyata menunggu di kala gelap itu sangat menakutkan. Aku duduk diam menunggunya. Tiba-tiba kura-kura datang dan menceritakan rasanya kemenangan atas kerja kerasnya selama ini. Kemudian terdengar kicauan burung camar sembari mengatakan “Ayo bertualang!” tapi aku tetap duduk menunggu Ayah. Tak lama, kelinci ikut datang menjumpaiku, ia tampak berkilau dengan warna bulunya yang putih bercampur perak di daun telinganya. Ia tidak tampak sedih atas kekalahannya dengan kura-kura. Ia berkata padaku “Ayo kita berkelana bersama dengan kura-kura dan burung camar!” aku ragu mengatakan iya, namun sepertinya Ayah tidak ingin memunculkan batang hidungnya dalam waktu dekat. Dengan sedikit keraguan aku mengangguk risau.

Saat itu kegelapan masih terus bersamaku, namun bersama terangnya warna kelinci, kicauan burung camar, dan senyum bangganya kura-kura membuat malam itu tak terasa begitu gelap. Kami pergi tidak terlalu jauh dan lama, hanya menyusuri jembatan kecil yang cukup membuat jantungku berdegup kencang namun juga bersemangat. Samar-samar aku mendengar suara air terjun, sepertinya sebentar lagi kami akan bertemu air terjun. Benar saja dugaanku, mereka mengajakku untuk duduk di batu sekitaran air terjun. Aku menatap keatas melihat cahaya cukup besar sehingga aku bisa menyadari bahwa sekelilingku betul-betul indah sampai senyumku merekah sepenuhnya, rasa khawatir perlahan hilang diganti dengan rasa senang. Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki pelan dari balik semak-semak. Ayah datang dengan senyum tulusnya membawa buah yang cukup besar, aku tidak tahu buah apa itu, rasanya tidak pernah melihatnya.

“Ini buah kelapa.” ujarnya. sepertinya raut penasaranku terbaca olehnya. “Kenapa tidak menunggu ayah di kegelapan?” tanyanya. Aku hanya diam, tidak bisa menjawabnya. Ayah kembali tersenyum dan mengelus lembut kepalaku.

“Eksplorlah hal yang ingin kamu lihat dan datangi, ikuti rasa penasaranmu, berkelanalah sejauh apapun itu, nanti ayah akan datang menjumpaimu kembali, tentu saja dengan perasaan bangga!”

Senyum Ayah begitu tulus sampai aku memeluknya erat. Nyaman rasanya, berada di bawah cahaya terang bersama hangatnya balasan pelukan Ayah. Tanpa rasa khawatir, begitu nyaman hingga rasanya aku ingin terus berkelana supaya mendapati momen ini kembali, bersama Ayah.

Kicauan burung camar kembali terdengar, namun kali ini sudah tidak ada lagi kelinci dan kura-kura. Ah rupanya hanya mimpi. Minggu pagi sudah datang, aku keluar kamar masih dengan perasaan hangat. Terdengar suara Ayah dari meja makan menyambutku. “Sudah bangun rupanya.” “Ayo lekas, kita pergi ke pasar bersama Ibu.”

Minggu pagi, ke pasar bersama Ayah dan Ibu mencari buku-buku lainnya yang siap menambah koleksi rak buku Ibu. Sungguh, aku sudah siap berkelana hari ini!

It might be late, but better late than never. Selamat hari Ayah bagi semua Ayah hebat di dunia ini!

--

--